Bondowoso (ANTARA) - Suasana perebutan suara pemilih pada Pemilihan Umum atau Pemilu Presiden 2024 diprediksi masih akan sama dengan pelaksanaan Pemilu Presiden 2019, terutama terkait politik identitas.

Bahkan, Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR bersama DPR dan DPD pada 16 Agustus 2022 menyampaikan ajakan pada semua pihak untuk menghindari polarisasi atau politik identitas saat Pemilu 2024.

Politik identitas diprediksi masih akan digunakan oleh kelompok-kelompok pendukung calon presiden untuk mengaduk-aduk psikis para pemilih agar memilih capres tertentu dengan bermodalkan emosional identitas, terutama agama.

Jika seluruh komponen negara, terkait bidang keamanan, bersama dengan elemen lainnya, termasuk tokoh agama, tidak mampu mengatasi politik identitas pada Pemilihan Presiden 2019, bukan tidak mungkin kekacauan akan terjadi, dimana saat itu masyarakat sempat terbelah dalam kelompok "Cebong" dan "Kampret".

Selain unsur negara dalam tugas memelihara keamanan masyarakat, Indonesia masih memiliki dua komponen organisasi besar dalam tugas memelihara kedamaian dan menjaga persatuan bangsa ini, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saking vitalnya peran kedua organisasi itu, kemudian disematkan predikat sebagai "dua sayap" Indonesia. Tentu tulisan ini tidak hendak menafikan organisasi-organisasi keagamaan lainnya dalam ikut menjaga Indonesia.

Dengan jumlah anggota yang besar, tentu menjadi magnet bagi partai politik untuk menggaet massa dari kedua organisasi Islam itu.

Hal yang mulai tampak untuk menyeret kedua organisasi itu adalah ketika beredar video di media sosial yang menyebutkan bahwa Muhammadiyah mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden atau capres di Pemilu 2024. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sudah mendeklarasikan Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta itu, sebagai capres untuk Pemilu 2024.

Klaim di video itu kemudian dibantah oleh Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti, beberapa waktu lalu.

Mu'ti menegaskan bahwa video yang beredar di media sosial itu merupakan propaganda politik. Karena itu, dia meminta warga persyarikatan tersebut tidak terpengaruh.

Muhammadiyah menegaskan bahwa organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu tidak terlibat dalam politik praktis, terlebih dalam pesta politik Pemilihan Presiden 2024.

Bagaimana dengan NU? Jauh sebelum video propaganda politik yang dibantah oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah menangani masalah terkait dukung mendukung calon presiden.

PBNU, pada Januari 2022 memanggil PCNU Sidoarjo dan PCNU Kabupaten Banyuwangi, keduanya di Jawa Timur, terkait adanya sinyalir keterlibatan pengurus kedua cabang NU itu dalam politik praktis. Sebelumnya dikabarkan bahwa PCNU Banyuwangi dan Sidoarjo terlibat dalam konsolidasi partai, dengan agenda persiapan calon presiden yang diadakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB. Meskipun PKB adalah partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU, PBNU tetap menjaga jarak yang sama dengan semua partai.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyatakan bahwa organisasi yang dipimpinnya tidak mendukung salah satu parpol atau calon presiden (capres) di Pilpres 2024.

Gus Yahya juga menyampaikan tidak mengizinkan pengurus di PBNU maju sebagai calon presiden atau sebagai wakil presiden, kecuali sudah mengundurkan diri dari jabatan di PBNU. Untuk hak politik warga, diizinkan bebas memilih partai politik pada pemilu mendatang.

Melihat sikap pemimpin di PBNU dan PP Muhammadiyah itu tentu menjadi kabar gembira bagi mereka yang menghendaki politik identitas tidak terulang di Pilpres 2024.

Meskipun demikian, godaan masuk ke ranah politik kepentingan sesaat itu masih terbuka akan dialami oleh pengurus NU dan Muhammadiyah di berbagai tingkatan.

Menyembulnya gejala politik identitas dalam pemilihan umum patut diwaspadai karena bukan saja merendahkan nilai agama yang mereka jadikan alat propaganda itu, melainkan juga berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Semua pihak, yakni partai pendukung capres/cawapres serta tim sukses, hendaknya lebih menggunakan aspek rasional dalam mengajak calon pemilih untuk mendukung kandidatnya.

Demikian juga masyarakat pemilih, hendaknya lebih menggunakan akal sehat dalam menentukan pilihan, ketimbang terpengaruh oleh narasi-narasi negatif yang menempatkan rasionalitas di saku belakang.

Budaya copy paste dan langsung menyebarkan ulang atas narasi tertentu yang berisi "penunggangan terhadap agama" di berbagai kanal media sosial harus segera ditinggalkan oleh masyarakat. Selain ikut membantu menjaga kedamaian di masyarakat, sikap berhati-hati itu juga akan menyelamatkan kita dari jeratan hukum, khususnya pencemaran nama baik.

Rupanya, para pendukung fanatik atas capres dan cawapres tertentu perlu mendengarkan fakta di masyarakat bahwa narasi negatif yang mereka kembangkan itu, justru menjadi "senjata makan tuan". Calon pemilih yang awalnya sudah bersimpati pada capres dan cawapres tertentu kemudian berbalik arah mendukung calon lain ketika narasi negatif itu semakin gencar ditembakkan kepada lawan.

Mari kita jaga rumah besar bernama Indonesia dari perang psikologis hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Mari kita rawat negara hasil perjuangan para leluhur ini untuk kita wariskan kepada anak cucu kita.

Copyright © ANTARA 2022